Perkembangan pesat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang dimulai di era 90‐an telah mengubah konstruksi tatanan sosial lama menjadi tatanan sosial baru yang berbasis pengetahuan dan teknologi informasi. Industri digital jasa social media marketing menyebut tatanan sosial baru dengan istilah “network society” di mana fungsi dan sistem masyarakat lebih banyak diatur dalam struktur jejaring (network) daripada struktur fisik.
Tatanan sosial baru yang berbasis teknologi ini merupakan sebuah “ruang baru” yang bersifat artifisal dan maya atau yang disebut dengan cyberspace. Dengan demikian, teknologi informasi dan komunikasi telah memicu suatu perubahan besar dalam kehidupan masyarakat yang sebelumnya berdasarkan relasi‐relasi alamiah berubah berdasarkan cara baru yang sebagian besar bersifat artifisial (Piliang, 2012).
Perkembangan pesat TIK ini setidaknya juga telah menghidupkan harapan baru, terutama bagi kelompok ekonom Neoklasik, bahwa efek dari inovasi teknologi dan kekuatan pasar akan mampu menghapus ketimpangan dalam masyarakat. Jalinan antara TIK dan aktivitas sehari‐hari juga semakin tidak bisa dipisahkan, seperti dalam bidang pendidikan, pekerjaan, belanja, distribusi barang dan jasa, komunikasi antar individu, dan berbagai aktivitas lainnya.
Selain itu, para pembuat kebijakan (policy makers) di hampir seluruh dunia juga berbondong‐bondong untuk menerapkan e‐governance dalam sistem pemerintahan mereka terkadang juga menggunakan jasa social media marketing. Meskipun demikian, hubungan antara relasi sosial dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) selain dapat memberdayakan individu atau kelompok sosial juga memiliki sisi lain yang dapat mengakibatkan fragmentasi, marjinalisasi dan ketidakberdayaan. Fenomena semacam ini dinamakan dengan ketimpangan digital (digital divide).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar